SERANG — Direktur Utama Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah (LKMS) Artha Kerta Raharja, Deni Hikmat, menegaskan bahwa LKM hidup berdampingan dan merupakan alat ampuh dalam upaya memerangi kemiskinan di masyarakat.
Hal itu ia sampaikan dalam Expert Lecture di Program Studi Perbankan Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanudin (SMH) Banten, dengan tema “Tantangan dan Strategi Penguatan Layanan Keuangan Mikro Syari’ah di Era Digital” pada Rabu, 1 Oktober 2025.
Menurutnya, masyarakat miskin memang berdampingan dengan lembaga keuangan mikro, dimana pada faktanya, tidak mungkin lembaga keuangan skala besar atau menengah membantu orang-orang kecil.

Hal ini berdasarkan tipikal masyarakat kecil di grassroot (akar rumput) yang cenderung tidak terpelajar, tata kelola usaha yang buruk atau tidak teratur serta lingkungan bisnis tidak pasti yang dapat beresiko dapat mempengaruhi orientasi profit dan komersial yang dengan tegas mereka anut.
“Hal ini karena minimnya sosialisasi dan literasi keuangan, bahkan kondisi mereka. Mereka kadang-kadang meminjam uang bukan untuk beli motor atau sebagainya, melainkan untuk sekedar melanjutkan kehidupan mereka,” ungkapnya di hadapan ratusan mahasiswa program studi Perbankan Syari’ah UIN SMH Banten tersebut.
Hal tersebut memang menjadi tantangan bagi para praktisi di lembaga keuangan mikro lanjut dia, terlebih dengan berbagai persoalan yang menyertainya. Dirinya menegaskan bahwa Indonesia sendiri menganut sistem ekonomi Pancasila atau kerakyatan, berlandaskan pada ideologi Pancasila dan prinsip-prinsip yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 33.
Sementara itu ruh dari Lembaga Keuangan Mikro sendiri ada pada Undang-Undang No 1 Tahun 2013, yang telah dilakukan penyempurnaan melalui Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sistem Keuangan (P2SK).
Dimana di dalamnya terdapat hal yang sangat membedakan antara LKM dengan yang lainnya, yakni definisi tujuan mengelola simpanan dalam bentuk tabungan deposito, jasa konsultasi pengembangan usaha, dengan prinsip tidak semata-mata mencari keuntungan, yang memang tidak disinggung, dan tidak disebut dalam Undang-Undang Perbankan.
“Orang miskin membutuhkan bantuan bukan hanya pinjaman, jangan dikira orang miskin buat minjem aja, punya duit mereka nabung boleh gak, boleh, punya duit investasi kecil-kecilan boleh gak, boleh, kemudian keuangan mikro alat ampuh untuk memerangi kemiskinan, karena tidak mungkin keuangan skala besar atau menengah itu membantu, orang kecil itu berdampingan bersama mikro” tegasnya.
Berbicara soal lembaga keuangan mikro yang saat ini ia pimpin sendiri, Deni pun menuturkan bahwa pihaknya tidak main-main dalam persoalan memerangi kemiskinan ini. Bahkan menurutnya perubahan dari sistem konvensional ke sistem Syari’ah merupakan puncak dari upaya penguatan, perbaikan serta pengembangan LKM AKR.
Hal ini karena ketika berubah dari sistem konvensional ke Syari’ah, yang dibicarakan bukan hanya soal bisnis melainkan ada nilai-nilai moral, adab, etika, yang sangat luar biasa.
“Kenapa kata syari’ah menjadi puncak, karena di sana ada nila-nilai luar biasa yang saya sendiri secara pribadi tidak dapatkan ketika di konvensional” tegasnya.
Sementara itu Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis (FEBI) UIN SMH, Prof. Dr. Budi Sudrajat M.A., menuturkan pihaknya merasa beruntung dengan kedatangan Dirut LKMS AKR di kampus mereka.
Bahkan ia mengakui memiliki pemikiran mengubah arah kiblat khususnya prodi Perbankan Syari’ah, dari yang tadinya terlalu dedicated dan concern dengan keuangan besar atau perbankan, beralih ke keuangan syari’ah yang sifatnya down to earth (grassroot).

“Jadi saya ingin nanti praktikum mahasiswa ini PBS, its oke kita sama sekali tidak meninggalkan mitra lama ya, bank-bank syari’ah yang besar itu, tapi saya juga ingin nanti ada itu membagi untuk praktikum mahasiswa juga di LKM syari’ah” ungkapnya dalam perkuliahan tersebut.
Terlebih lanjutnya, hal ini juga sesuai dengan cita-cita dari sesepuh Fakultas yang ia pimpin saat ini, kaitan dengan pembeda antara perbankan ekonomi syari’ah dengan konvensional. “Salah satu yang beliau pesankan ke saya itu bahwa harus beda, dalam arti keberpihakan kita terhadap keuangan mikro dan ultra mikro” ungkapnya.
Dirinya menuturkan bahwa pada faktanya tidak hanya berhenti di mikro, namun harus diketahui yang lebih bawah lagi yakni ultra mikro. Hal ini pun tentu menjadi sebuah tantangan tersendiri untuk ekonomi di masyarakat.
Terlebih dalam sebuah disertasi yang pernah ia baca di Monas University, menyebutkan bahwa di program keuangan mikro sekalipun, ideologi profitism, ideologi kapitalism yang menomorsatukan profit itu tetap beroperasi apa lagi lembaga-lembaga keuangan yang big size tadi.
“Tapi saya yakin masih banyak muzahid-muzahid keuangan mikro syari’ah termasuk pak Deni, yang memiliki ghiroh semangat kuat untuk menemani, menyapa kalangan bawah” tandasnya.
Perkuliahan yang diisi Dirut LKM AKR itu pun sangat mengundang antusias ratusan mahasiswa prodi Perbankan Syari’ah yang hadir, sejumlah pertanyaan pun dilontarkan.
Salah satunya muncul dari Nurul, mahasiswa semester lima prodi Perbankan Syari’ah, yang mempertanyakan solusi sulitnya orientasi komersial dan orientasi sosial untuk berjalan beriringan. “Saya ingin jawaban itu, bagaimana LKM AKR bisa menyeimbangkan keberlanjutan finansial dengan isu sosial, penanggulangan kemiskinan di era digital tanpa salah satu harus dikorbankan” katanya.
Dirut LKM AKR itu pun mengiyakan bahwa selama ini kedua hal itu tidak bisa berjalan. Namun lanjutnya, dengan konsep Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) itu bisa berjalan. Sedangkan bagaimana impact terhadap keberlanjutan ekonomi, dirinya menuturkan bahwa persoalannya berada di tata kelola.
Deni pun memaparkan bahwa di bisnis yang dilakukan oleh para pelaku usaha jasa keuangan mikro, sudah tentu regulasi ini lah yang dijadikan sebagai alat. Contohnya dalam sisi pemberian rate atau margin yang jika istilahnya dibunga kan saja secara mudah, bunga yang diterapkan itu tidak mematok atau tidak memaksa, sehingga rate atau bunga yang diterapkan itu bahasanya adalah maksimal.
Misalkan saja di LKM bunga nya itu 3% bagi orang yang berkemampuan mengembalikan 3%, atau kita berikan setengah persen kepada orang yang kemampuannya setengah persen, dari prinsip itu saja sudah kelihatan ada kata maal, sehingga itu keberpihakan kita terhadap mereka.

Tinggalkan Balasan